*** Ini Tulisan Kakak sendiri.
Berhubung belum ada kisah perjalananku terbaru, aku memutuskan untuk menulis pengalaman dan cerita-cerita lama sebelum mereka menghilang sepenuhnya dari ingatanku.
Kali ini aku akan throwback
ke tahun 2015 silam. Waktu itu bulan Agustus, aku kedatangan rombongan dari
Semarang yang ingin ke Ranu Kumbolo. Mereka adalah Mbak Visi, Valen dan Riko, teman-teman yang kukenal dari Instagram tetapi
sudah seperti teman dekat yang berteman lama. Dan yang ikut berangkat dari Malang
ada aku sendiri, Dodo, Obam, Andhi, Lando, Tama, Resti dan Sifa juga ada Mba Ni dari Surabaya.
Total rombongan waktu itu 12 orang dan kalau tidak salah ingat kami berangkat
beberapa hari sebelum 17 Agustusan. Ini termasuk rombongan terbanyakku
sepanjang sejarah pendakian yang pernah aku lakukan.
Awalnya aku sempat ragu-ragu akan ikut berangkat atau tidak. Padahal
biasanya kalau naik gunung aku tidak pernah ragu-ragu. Tetapi mereka berusaha
mengompori dan meyakinkanku hingga akhirnya pun aku turut mem-packing barang bawaan dan berangkat
bersama mereka.
Perjalanan menuju ke Ranu Kumbolo berjalan lancar dan menyenangkan
seperti seharusnya. Kami berangkat dari Malang naik motor dan rencana awal
hanya menginap semalam saja di Ranu Kumbolo. Akan tetapi ketika di perjalanan
turun dari Ranu Kumbolo menuju ke Ranu Pane, ada kejadian yang menimpa Mbak Visi dan membuat kakinya
cedera lumayan parah.
Ceritanya, siang itu kami memilih lewat jalur atas (bukan melipir
danau) melewati hutan untuk menuju ke sisi danau yang satunya. Kondisi jalur
yang setapak dan tidak terlalu lebar mengharuskan pendaki untuk berjalan dalam
satu baris.
Waktu itu, mba Visi ada di bagian belakang bersama Valen dan Tama. Tiba-tiba ada pendaki mancanegara
yang ingin mendahului dan menyalip rombongan kami sehingga membuat Mbak Visi dan yang lainnya
harus sedikit kepinggir memberi jalan. Ketika hendak berpindah posisi, tidak
sengaja kaki Mbak Visi terkilir dan keseleo di bagian pergelangan kakinya.
Mbak Visi meminta tetap
melanjutkan perjalanan dengan kondisinya yang semakin lama semakin
terpincang-pincang.
Aku mungkin memang tidak bisa membayangkan betapa sakitnya berjalan
di jalur turun dengan kaki yang keseleo, tapi yang aku tahu jalan di jalur
turunan dengan kondisi normal saja rasanya cukup menguras tenaga dan membuat
kita menahan sakit di ujung-ujung jari sewaktu mengerem. Aku salut sekali
dengan mba Visi yang tetap semangat untuk melanjutkan perjalanan dan tidak
mengeluh sedikitpun. Walaupun ternyata hal tersebut justru membuat kondisi
kakinya semakin parah.
Setelah melewati Pos 3 dan melewati jalur longsor, aku bersama
rombongan yang di depan (kalau tidak salah ada Obam, mba Ni, Resti, Dodo dan
Riko) meminta izin pada rombongan yang di belakang untuk berjalan lebih dulu
lalu kemudian kami mempercepat langkah dengan agak sedikit berlari supaya
sampai di Ranu Pane tidak keburu gelap sehingga bisa mencari tempat yang nyaman
untuk tempat istirahat kami nantinya.
Walaupun saat itu merasa ada yang aneh juga ketika jalan dari Pos 1 menuju ke Ranu Pane yang biasanya memakan
waktu sekitar satu jam setengah lebih, seperti tidak kunjung sampai. Aku berusaha tidak
berfikiran yang macam-macam. Di
tempat seperti ini kita harus selalu positif thinking.
Begitu juga saat di sepanjang perjalanan sepertinya ada burung hitam yang selalu mengikuti kami.
Biasanya burung liar pasti akan takut pada gerakan manusia, tetapi burung ini
justru seperti menemani dan mengiringi kami ketika berjalan turun.
Aku, Resti, dan Dodo sampai ke pendopo yang ada di Ranu Pane sekitar pukul 18.00
WIB, pas sekali waktu itu baru gelap. Obam dan Mbak Ni malah sudah sampai duluan sebelum maghrib.
Tentang Obam, aku tidak
paham lagi Obam ini sehari-harinya makan apa. Karena kenapa bisa dia jalannya cepat sekali, tidak pernah
kelelahan, dan larinya pun tidak tertandingi. (Ya sih, dia memang bisa dibilang athlete
lari yang cukup professional di
Malang).
Kemudian kami menggelar matras di pendopo yang kondisinya setengah
terbuka untuk berselonjor. Menurutku, suhu di Ranu Pane ini menjadi lebih dingin dan semakin dingin jika
kita hanya berdiam diri serta tidak melakukan apa-apa.
Tidak berselang lama rombongan di bagian tengah pun sampai. Ada Sifa, Lando, dan juga Andhi. Tapi mereka bilang kalau rombongan
yang di belakang masih sangat jauh jaraknya. Kami mulai khawatir dan menunggu
dengan perasaan tidak tenang.
Kemudian Obam berinisiatif untuk kembali dan menyusul Mbak Visi yang cidera, dengan berbekalkan headlamp dan peralatan yang sudah dipindahkan
ke daypack kecil.
Sebenarnya hal ini membuat kami semakin tidak tenang kalau harus membiarkan Obam
menyusul sendirian apalagi kondisi sudah malam, tetapi di
sisi lain kami percaya dia sudah menguasai medan dan
juga hanya dia yang kondisinya masih fit. Dia sudah sering ke tempat ini.
Masalah Mbak Visi belum selesai, malah insiden selanjutnya pun terjadi di Ranu Pane.
Waktu itu sekitar pukul 21.00 WIB, Sifa yang mempunyai gejala penyakit asthma merasa sangat
kedinginan hingga kemudian bergabung dengan para porter dan guide yang
sedang membuat perapian di dekat toilet. Kamipun ikut menemani dan mengingatkan
agar dia tidak terlalu dekat dengan api supaya tidak terkena asapnya.
Kemudian tiba-tiba saja Sifa terlihat
menunduk lalu sesak nafas, lemas dan kemudian pingsan. Para porter yang ada
disitu reflek menggendong Sifa dan membawanya ke ruang istirahat Saver (Sahabat
Volunteer Semeru, petugas yang berjaga di Pos Ranu Pane).
Setelah diberikan obat asthma semprot dan diolesi minyak angin Sifapun sadar. Kemudian Sifa
disuruh memakai beberapa lapis sleeping
bag dan meminum teh hangat dari Saver.
Melihat kondisinya yang
seperti itu kami disuruh beristirahat di dalam situ saja, dan para Saver
mempersilahkan kami menggunakan kamar mandi atau dapur jika ingin memasak. Akhirnya kami pun
bercerita pada tim Saver kalau kami sedang menunggu teman yang kakinya cidera dan belum sampai.
Hingga tiba-tiba datanglah Tama dengan nafas yang masih ngos-ngosan.
Dia bilang, kalau Obam sudah menemani Mbak Visi dan Valen disana dengan
ditemani beberapa pendaki lain yang berpapasan di jalan. Mereka membuka tenda untuk beristirahat di Watu
Rejeng, karena
kondisi Mbak Visi benar-benar sudah
tidak bisa jalan. Jadi ceritanya saat itu
Obam bertukar posisi dengan Tama.
Ganti Obam yang menemani
Mbak Visi dan Valen, sedangkan Tama disuruh
melaporkan kondisi mereka ke Ranu Pane.
Mendengar itu seorang Saver justru tidak setuju.
“Kalian tau? Watu Rejeng
itu gerbangnya kerajaan makhluk-makhluk yang menghuni disana. Kalau teman
kalian malam ini tidur disitu, saya jamin tidak lama lagi bakalan ada yang
kesurupan. Jadi kalau mau buka tenda harus sedikit turun lagi.” Katanya.
Mendengar hal itu aku jadi panik. Khawatir dan takut kalau-kalau Mbak Visi atau Valen yang
sedang kelelahan akan lebih mudah kerasukan,
apalagi kalau pikirannya sedang kosong. Dan… Ah sungguh aku tidak bisa
membayangkan hal-hal yang akan terjadi.
Kamipun meminta tim Saver untuk mengirimkan bantuan dan mengevakuasi
Mbak Visi agar diangkut
menggunakan tandu atau semacamnya. Akan tetapi para Saver tidak bisa
mengirimkan tim untuk evakuasi malam itu dan kami harus menunggu sampai besok
pagi.
Disitu aku benar-benar merasa bersalah karena berjalan meninggalkan Mbak Visi. Seharusnya apapun yang terjadi kami semuanya tetap bersama, karena kami
berangkatpun berbarengan. Maafin Rieke ya Mbak Vis, karena waktu itu ninggalin Mbak Visi yang lagi kesakitan L
Tama menyampaikan pesan dari Mbak Visi, katanya Mbak Visi minta tolong supaya kami menghubungi Ibunya di Semarang dan menyampaikan bahwa pulangnya
harus tertunda. Takutnya Ibunya khawatir menunggu.
Kami segera mencari kertas berisi nomor hp yang katanya ada di tas kecil yang dibawa Riko. Tetapi setelah bergotong-royong membongkar-bongkar seluruh tas hasilnya
nihil, kamipun bingung. Kami tidak menemukan kertasnya dan berfikiran mungkin masih terbawa
Mbak Visi atau Valen di tas
yang mereka bawa.
Malam itu rasanya benar-benar campur aduk. Antara cemas dan takut.
Ketika hanya ada aku,
Resti, Sifa, dan Mbak Ni di ruangan Saver. Kami memutuskan untuk memasak mi instan, tapi
entah kenapa suasana malam itu menjadi semakin horror karena lampu ruangan yang
tiba-tiba berkedip-kedip dan ada serangga besar yang jatuh didekat kami dengan cara yang amat mengagetkan. Sungguh
mencekam.
Tidak lama kemudian ada seorang Saver yang datang dan mengatakan
kalau malam itu akan ada rombongan lain juga yang beristirahat disitu. Sehingga
tidurnya harus diatur menyerupai ikan pindang dan sedikit berdesak-desakkan karena
rombongannya berjumlah 20 orang. Kami mengangguk setuju dan berfikiran mungkin
karena sudah terlalu malam tim Saver tidak mengizinkan pendaki untuk turun ke
kota karena jalannya yang terlalu curam, sehingga banyak pendaki yang menumpang
beristirahat disitu juga. Tapi ternyata, perkiraan kami salah. Mereka adalah
rombongan pendaki yang salah seorang temannya menghilang ketika turun dari
puncak Semeru. Aduuuh...., ada
kejadian apalagi ini.
Suasana malam itu semakin membuat merinding karena sebelum tidur,
kami semua berkumpul di ruangan Saver bersama rombongan 20 orang tadi membentuk
sebuah lingkaran, merenung bersama-sama dan membacakan do’a agar Daniel, teman
mereka yang hilang itu segera ditemukan dan juga untuk Mbak Visi yang sedang cidera semoga kondisinya
segera membaik. Malam itu Ranu Pane jadi tidak sedingin biasanya, kami tidur
berbalut sleeping bag masing-masing dan
menyukupkan diri yang diisi hampir 30 orang di satu
ruangan.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali suara telepon milik tim Saver
berdering berkali-kali sekaligus menjadi alarm untuk kita semua agar segera
bangun. Ternyata itu adalah telepon dari pihak keluarga pendaki yang hilang dan
juga telepon dari media-media yang sudah mengetahui kabar tersebut dan ingin
memastikan kebenarannya.
Tiba-tiba Resti yang berada disebelahku mengatakan kalau sewaktu
tidur dia memimpikan Daniel. Dia terlihat seperti sedang menangis dan berusaha
mencari jalan keluar dari dalam hutan. Di dalam bayangannya, Daniel ini
bersosok tinggi besar. Lalu akupun terheran, bagaimana bisa memimpikan
seseorang yang bahkan kita tidak pernah bertemu sebelumnya dan mengetahui
tampilan fisiknya? Apakah ini sebuah pertanda? Kemudian aku mengajak Resti
untuk keluar mengisi air sekaligus membersihkan muka. Karena kamar mandi di
dalam situ hanya ada satu dan orang yang mengantri lumayan banyak.
Ketika itulah aku melihat suasana diluar tidak seperti biasanya. Sangat ramai dan kudengar-dengar dari beberapa pendaki yang berbincang kalau
pendakian mulai hari itu ditutup karena akan diadakan open SAR untuk mencari
Daniel.
Di depan ruangan Saver juga ada beberapa polisi beserta anjing
pelacak yang sedang disimulasikan untuk mengenali beberapa barang milik Daniel
yang terakhir dipakai.
Aku dan Resti berjalan ke arah pos Simaksi tempat pendaftaran. Di situ ditempelkan pengumuman yang diprint di kertas yang
memberitahukan kalau pendakian Semeru ditutup, beserta foto-foto terakhir Daniel sewaktu di
puncak Semeru sebelum hilang.
“Bener Rieke, ini yang aku
mimpiin. Sama kaya gini orangnya, tinggi.” Kata
Resti setelah melihat fotonya. Aku ternganga.
Takjub. Sungguh mistery.
Kejadian aneh yang lain adalah ketika kami sedang packing dan tidak sengaja menemukan
kertas titipan Mbak Visi semalam. Padahal benar-benar sudah dibongkar semua tas dan ada
banyak saksi, kertas itu tidak ada. Kenapa pas pagi harinya jadi ada? Itupun masih menjadi
mistery
sampai sekarang.
Setelah memastikan kalau Mbak Visi sudah dijemput oleh seorang porter, kami bersama yang lain
mencari sarapan sambil menunggu.
Sewaktu di warung, kami mendengar berita lagi bahwa ada pendaki
wanita asal Jawa Barat yang ditemukan meninggal di area pasir menuju ke puncak
akibat kejatuhan batu yang longsor. Juga ada dua korban yang patah tulang di
bagian kaki dan tangan yang sedang dievakuasi untuk turun. Ya Tuhan apalagi
ini? Banyak sekali musibah yang terjadi hari itu.
Saat itu di Ranu Pane memang sangat ramai, selain dipenuhi oleh para
pendaki yang tidak bisa naik karena pendakiannya ditutup, banyak juga mobil tim
SAR dan ada juga mobil Ambulans.
Sekitar pukul 11.00 WIB, Mbak Visi akhirnya sampai bersama Valen dan Obam dengan digendong oleh porter yang kukenal baik sampai saat ini
bernama Pakde Dul. Alhamdulillah.
Melihat kondisi kaki Mbak Visi semakin parah sudah membengkak dan seperti lebam dari betis
bagian bawah sampai ke pergelangan kakinya, sungguh
rasanya aku ingin menangis. Sekali lagi, maafin aku Mbak Visi, waktu itu nggak bisa
bantu apa-apa L
Petugas-petugas dan orang-orang disana menyarankan supaya Mbak Visi dibawa naik
ambulans saja bersama dengan korban lainnya, mengingat rombongan kami harus pulang naik motor. Dikhawatirkan kondisi Mbak Visi belum kuat. Tetapi ternyata menunggu korban yang lain bisa-bisa sampai sore,
karena medan dan jalur yang panjang untuk evakuasi korban dari atas hingga ke
Ranu Pane. Akhirnya Mbak Visi memutuskan untuk pulang naik motor saja.
Kebetulan, saat itu akan digelar acara ’50 Pendaki Wanita’ dari brand outdoor lokal yaitu Rei Outdoor
untuk menyambut sekaligus merayakan 17 Agustus selama seminggu ke depan. Siang
itu sudah terpasang spanduk dan umbul-umbul di sepanjang jalan di Ranu Pane.
Terbayang kan betapa ramai dan chaos-nya
kondisi Ranu Pane saat itu?
Aku yang sebelum berangkat memang juga sudah sempat mendaftar untuk
tergabung dalam kegiatan ‘Expedition Women Series’ itu kemudian mencoba menghampiri
orang-orang dengan seragam Rei yang ada di depan basecamp Gimbal Alas itu untuk memastikan. Aku memang sudah
menjalani proses interview dengan
kepala toko cabang Malang dan mendapat konfirmasi kalau keterima untuk
bergabung, itulah sebabnya mengapa di awal keberangkatan aku sempat ragu-ragu.
Karena waktunya yang hanya berjeda sehari, aku khawatir ketika pulang aku terlanjur lelah
dan justru jadi males berangkat lagi. Ternyata, karena kejadian ini aku bahkan
belum pulang dan bertemu tidak sengaja dengan tim Rei Outdoor-nya di ranu pane.
Waktu itu aku mendaftar menjadi SPG-nya, yang menjaga stand selama
dua minggu di Ranu Pane. Bukan mendaftar sebagai 50 pendaki wanita. Karena
kalau menjadi SPG mendapatkan gaji sedangkan kalau menjadi pendaki hanya mendapatkan
beberapa peralatan gunung. Dan waktu itu aku lebih membutuhkan uang.
Saat itu aku menceritakan kepada orang-orang dari Rei Outdoor kalau
aku baru saja turun dari Ranu Kumbolo dan belum sempat pulang karena ada teman
yang harus dievakuasi. Ternyata mereka justru melarang aku untuk pulang,
katanya nanti aku akan dapat beberapa pakaian dan diberi kamar penginapan
lengkap dengan fasilitas air hangat. Aku juga akan mendapat uang makan setiap
harinya, jadi pada akhirnya aku berpisah dengan Mbak Visi dan kawan-kawan yang pulang sore itu untuk menuju ke RS Saiful
Anwar dan memeriksakan kakinya.
Karena di Ranu Pane susah sinyal, bahkan tidak ada sinyal sama
sekali waktu itu. Aku menitipkan pesan dan minta tolong Sifa menghubungi Mamiku
untuk menyampaikan kalau aku masih harus stay di Ranu Pane selama dua minggu
lagi. Khawatir banyak berita korban meninggal dan hilang sudah tersebar
sedangkan aku masih belum ada kabar hingga dua minggu kedepan bisa membuat
orang-orang mencariku. Aku ingat sekali ketika berpisah mereka memberiku body lotion, beberapa kaus kaki cadangan yang belum terpakai, dan
beberapa perlengkapan lain untukku seminggu kedepan. Terima kasih banyak geng!
Selama dua minggu aku menghabiskan hari-hariku di Ranu Pane dengan
orang-orang baru di lingkungan yang sudah tidak asing. Merasakan kedinginan
sepertinya sudah menjadi hobi baru waktu itu, karena setiap hari harus tidur
dengan suhu dibawah 10° C. Tidak pernah sedikitpun aku berkeringat sewaktu disana.
Aku membayangkan bagaimana orang-orang Suku Tengger selama ini
menjalani hari-harinya di suhu dingin setiap hari dan sulit untuk berkeringat.
Maka dari itu, jika diperhatikan kulit wajah mereka lebih kering dan pipinya
berwarna merah alami seperti memakai blush
on. Tetapi meningkatnya wisatawan ke TNBTS semenjak 2012 ini membuat warga Suku Tengger
meningkatkan perekonomian mereka. Bisa dijamin hampir semua penduduk disana
setidaknya mempunyai bisnis masing-masing, entah itu menyewakan jeep,
penginapan, warung sembako, bensin eceran, yang jelas pendapatan mereka lumayan
banyak. Terlihat
ketika mereka berbelanja di stand Rei Outdoor waktu itu, seperti tidak khawatir
uangnya akan habis.
Dari hari ke hari semakin banyak pendaki yang datang dan memenuhi
Ranu Pane serta Ranu Regulo untuk menunggu dibukanya izin pendakian ke Gunung
Semeru itu. Banyak sekali pendaki yang dari luar kota dan bahkan luar pulau
sudah jauh-jauh datang tetapi tidak bisa mendaki karena masih ada proses
pencarian pendaki yang hilang dan belum juga ditemukan.
Hingga akhirnya di hari ke-lima aku mendengar kabar kalau Daniel
sudah berhasil ditemukan di dekat Sumber Mani dalam kondisi selamat. Syukurlah!
Itu berarti acara pemberangkatan 50 pendaki wanitapun bisa terlaksana
secepatnya.
Berkenalan dengan para pendaki lain, akrab dengan warga lokal,
petugas-petugas, Saver, orang-orang dari Gimbal Alas termasuk Pak Tarpin
(pendaki yang masuk rekor karena berjalan mundur), para porter dan guide, teman-teman
dari brand Outdoor Pro, hingga supir-supir jeep disana sepertinya sudah menjadi
kebiasaan baru. Menu makanku bergilir dari warung ke warung setiap harinya
supaya tidak bosan, karena hanya ada itu-itu saja disana. Tidak jarang harus
berjalan ke arah desa tempat pemukiman warga untuk menumpang mandi jika air
hangat disitu sedang bermasalah. Karena tentu saja aku tidak mau mandi dengan
air es! Hahaha. Bahkan tidak jarang juga aku tidak mandi dan hanya mencuci muka
saja. Itu semua menjadi pengalaman baru buatku, terutama merasakan upacara 17
Agustus bersama warga Suku Tengger di Ranu Pane.
Kira-kira seminggu sekali aku menumpang telepon di warung Bagus
(salah satu warung yang paling terkenal di Ranu Pane), untuk menelepon Mami dan
menceritakan pengalamanku itu. Karena dari kecil aku memang terbiasa untuk
menceritakan apapun yang aku alami sehari-hari, sehingga sangat gatal sekali
rasanya ketika tidak bisa setiap hari bercerita. Hanya ada beberapa warung yang
mempunyai jaringan telepon. Masih seperti warnet, bayarnya pakai tarif. Kalau
tidak salah providernya namanya Ceria dan baru itu saja yang bisa masuk kesana.
Tidak terasa dua minggu kulalui begitu saja, menyenangkan tapi
kadang ada juga hal-hal yang membuat kesal selama menjadi SPG karena sempat
kesal dengan atasan. Ada juga keunikan-keunikan dari para pendaki yang berusaha
mengajak berkenalan dan meminta kontak. Dan tentunya ada pelajaran-pelajaran
baru yang aku dapat dari cerita ini.
Kebersamaan itu penting, sangat diharamkan hukumnya meninggalkan
teman yang sakit apalagi membiarkannya jalan di belakang. Karena kita tidak
akan tau apa yang akan terjadi. Selalu berhati-hati dan mengikuti peraturan
yang sudah ditetapkan. Sebagai contoh, sebenarnya pendakian ke Gunung Semeru
ini hanya boleh sampai Kalimati saja, tetapi kita kadang lebih mementingkan ego
untuk muncak daripada mengikuti peraturannya. Karena berfikiran, ‘nanggung udah
sampai sini masa sih nggak muncak?’ Ya kan? Padahal tentu saja itu sangat
beresiko untuk keselamatan kita. Aku juga hanya pendaki biasa yang masih perlu
banyak belajar dari yang lebih berpengalaman. Dan ini menjadi pengalaman
ter-seram karena melihat sendiri korban-korban kecelakaan itu secara langsung.
Sewaktu pulang ke Malang, ribuan chat
memenuhi handphone-ku yang berisi
kekhawatiran teman-teman dan pertanyaan-pertanyaan yang kini aku jawab di dalam
cerita ini. Banyak yang menduga-duga apakah aku (naudzubillahimindzalik) termasuk
ke dalam korban itu. Karena memang berita korban meninggal itu menjadi trending topic selama seminggu, terlebih
lagi korbannya perempuan dan juga berasal dari Jawa Barat. Dan aku belum ada
kabar hingga dua minggu lebih semenjak postingan terakhir yang berpamitan untuk
naik gunung.
Ada percakapan dengan warga sekitar situ yang aku ingat sampai
sekarang,
“Mbak, kemarin pas naik ke Rakum ngerasanya cuacanya lagi dingin nggak?” Tanyanya kepadaku.
“Kaya’nya pas di Rakum ngga terlalu sih Mas, padahal
biasanya kalo musim kemarau gini dingin banget kan ya?”
“Nah, iya itu Mbak. Makanya itu, kayanya
udah pertanda, kalau gunungnya lagi nyari korban. Lagi ‘waktunya’..”
Oh No!!
Setelah beberapa kali mengalami kejadian seperti ini, melihat secara
langsung korban-korban kecelakaan dari mendaki gunung, sempat terbesit pikiran
apakah ini sebuah peringatan untukku supaya harus berhenti mendaki? Ataukah
memang sebuah proses yang harus dilalui dan diambil hikmahnya?
Semoga cerita
ini bisa bermanfaat untuk kita semua.
Salam hangat,
Rieke Saputri.